Selasa, 18 Mei 2010

Nak, kapan kau menikah ?

Rasulullah pernah berkata kepada Ali : "Hai Ali, ada tiga perkara
yang jangan kamu tunda pelaksanannya, yaitu salat apabila tiba
waktunya, jenazah apabila sudah siap penguburannya, dan wanita bila
menemukan pria sepadan yang meminangnya"(Riwayat Ahmad)

Walau jelas hadits di atas memerintahkan wanita menyegarakan
pernikahan, namun adakalanya sebagian dari wanita tak berharap segera
menikah. Ia tidak ingin cepat-cepat mengakhiri masa lajangnya.
Berbagai alasan dikemukakan, dari sekedar masih ingin menikmati
kesendirian, tak ingin karier terganggu, sampai trauma dengan masa
lalu.

Sebut saja Tita. Sampai berusia 43 tahun, belum juga menikah. Padahal
teman-teman sebayanya sebagian telah menggendong cucu. Tidak
normalkah dia atau tak inginkah dia menikah? Tidak. Ia normal dan
berharap bisa menikah. Namun pengalaman masa lalu telah membuatnya
trauma. Dulu pernah ada lelaki yang akan menikahinya, namun menjelang
hari H, si lelaki kabur entah ke mana. Padahal undangan, segala
persiapan, dan tetek bengek lain telah mencapai 95%, Tinggal besok
akad nikah dan walimah. Apa boleh buat, pengantin pria menghilang
begitu saja. Tita pun hanya bisa menagis dan menyesal. Sejak itulah
ia tak berhasrat lagi hidup dengan lelaki.

Beda lagi dengan Tati. Memang ia tidak ingin menikah dulu, walaupun
umur telah mencapai kepala 4. Alasannya, cita-cita meraih karir
tinggi belum tercapai, juga gelar professor wanita yang diidam-
idamkannya sejak kecil belum tergapai. Pikirnya, menikah hanya
mengganggu kuliah, menghambat karir, dan membuat wanita lemah di
hadapan pria.

Tunda kesempatan emas
Apa pun alasannya, menunda pernikahan sampai umur tua tak diharapkan,
selain tentunya tidak disukai oleh agama. Sebaliknya mempercepat
pernikahan sangat dianjurkan, sebagaimana tersirat dalam ayat : "dan
nikahkanlah orang-orang yang bersendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak (menikah) dari hambar-hamba sahayamu, laki-laki
maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah yang akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas Pemberian lagi Maha
Mengetahui" (An-Nur 32).

Pada dasarnya menunda pernikahan tanpa alasan kuat (yang dibenarkan
syariat) sama halnya dengan membuang kesempatan emas. Karena
kesempatan terbaik wanita berumah tangga dan punya anak adalah di
saat masih muda. Saat itu ia masih bisa bersaing dengan wanita-wanita
lain dalam meraih lelaki terbaik, rahim pun masih subur. Namun ketika
usia telah merangkak tua tentu kemampuan itu semakin melemah seiring
berubahnya kecantikan wajah, bergesernya kehalusan kulit, juga
berkurangnya daya ingat. Peluang hamil di usia tua juga makin kecil.
Kalaupun tidak kecil akan lebih berbahaya. Tentu keadaan seperti ini
bukan kondisi yang bagus. Lagi pula lelaki normal entu akan lebih
memilih gadis muda dan subur dari pada gadis tua yang diragukan
kesuburannya. Hendaknya wanita yang masih suka melajang berpikir
sampai di sini.

Orang Tua Cemas
Bila seorang gadis tak segera menikah, tentu yang paling cemas adalah
orang tua. Mereka takut anaknya tidak menikah, jadi perawan tua, atau
tidak laku. Mereka pun cemas putrinya memiliki kelainan tertentu.
Mereka berharap bisa segera melihat anaknya bahagia, serta dapat
segera meminang cucu. Karena sudah fitrah manusia menyukai anak-anak
sebagai penerus keturunan. Mereka pun tak ingin terputus mata rantai
generasinya.

Sebagai anak tentunya kita tidak ingin membuat orang tua kecewa.
Memenuhi harapan mereka- selama bukan perkara maksiat- adalah
kewajiban kita, karena sama artinya dengan birrul walidain. Dengan
demikian bersegera memenuhi keinginan mereka (menikah) adalah bakti
kita kepada orang tua.

Lupakan Masa Lalu
Bagi yang menunda pernikahan karena trauma masa lalu, hendaknya tidak
memperpanjang lebih lama. Masa lalu perlu dijadikan ibrah (pelajaran)
tapi bukan dijadikan penghalang berbuat kebajikan. Apapun yang sudah
terjadi adalah qadarullah. Seorang muslin tidak boleh terus larut
dalam kesedihan.

Bila trauma sampai menjadikan benci pada laki-laki atau benci pada
pernikahan, sudah berlebihan. Kalau si dia tidak jadi milik kita, itu
artinya ia tidak baik buat kita. Dan itulah jalan terbaik bagi
kehidupan kia, karena Allah tahu mana jalan yang terbaik dan mana
yang tidak baik untuk hamba-Nya. Sebagai seorang hamba, kita mesti
menerima keputusan tersebut dengan lapang dada. Bersabar dan berharap
Allah memberi ganti yang lebih baik. Doa yang diajarkan
Rasulullah : "Tiada seorang muslin yang tertimpa musibah, kemudian ia
mengucapkan kalimat istirja' (innalillahi wa inna ilaihi raji'un)
dilanjutkan dengan doa : Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah
ini dan gantilah untukku dengan yang lebih baik, melainkan Allah akan
menggantikannya dengan yang lebih baik."

Hendaknya kita bisa mengamalkan doa tersebut, kemudian bisa menatap
masa depan dan memulai kehidupan baru yang lebih baik.

Studi tidak terganggu
Kalau menikah khawatir akan mempengaruhi prestasi belajar atau
mempengaruhi prestasi belajar atau mempengaruhi persiapan masa depan,
hal ini sesungguhnya tergantung dari manajemen waktu masing-masing,
Kalau kita bisa mengatur waktu, justru dengan menikah semua akan
lebih baik. Bahkan kalau tadinya amburadul dalam mengatur waktu,
setelah menikah semuanya akan berubah, waktu akan lebih rapi, karena
ada yang mengontrol keluar masuk rumah kita. Kalau dulu mungkin waktu
biasa dihabiskan untuk hura-hura (sehabis kuliah), kini tidak lagi.
Sebaliknya dipergunakan untuk mencari nafkah atau bercengkerama
dengan keluarga. Selain membuat bahagia, kegiatan ini juga tidak
membuat hati keras sebagaimana bercanda atau ghibah dengan orang lain.

Di sisi lain, bila dilihat dari segi finansial dengan menikah akan
lebih bisa menghemat uang. Kegiatan kuliah pun lebih teratur karena
ada yang membantu mengerjakan tugas (kalau satu bidang studi),
mengingatkan kalau lupa kuliah, mendukung untuk tidak menyerah dengan
beban tugas dari kampus, dan lain sebagainya. Bagi akhwat, akan punya
mahram. Ia jadi lebih enak dan bebas bila ingin ke mana-mana, seperti
mencari buku pustaka, menghadap dosen, dan yang lainnya. Selain itu,
ia juga dapat memperluas wawasan dengan diskusi interdisipliner, dan
lain-lain.

Mengejar karier
Sudah menjadi kodratnya, wanita beda dengan laki-laki. Secara umum
wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Walaupun tidak dipungkiri ada
satu dua wanita yang memiliki kemampuan di atas pria, namun itu tidak
menjadikan wanita sama dengan pria. Mereka tetap punya perilaku,
kebiasaan, dan tanggung jawab yang berbeda. Sebagaimana tercermin
dari postur dan fisik mereka. Tentunya ada hikmah besar di balik
penciptaan seperti itu.

Allah menyatakan dalam salah satu ayatNya bahwa sebaik-baik wanita
adalah di rumahnya, Tidak ada pekerjaan wanita yang lebih mulia
selain di dalam rumah, mengurus suami, serta memelihara dan mendidik
anak-anak. Menjadikan mereka manusia-manusia berkualitas. Sementara
nafkah atau pekerjaan luar rumah menjadi kewajiban suami. Lelakilah
yang bertanggung jawab memenuhinya.

Apakah itu berarti Islam mengekung wanita? Tidak. Bahkan sebaliknya
mengangkat derajatnya, karena telah jadi fitrah wanita butuh
perlindungan dari laki-laki. Maka Allah menempatkan wanita di posisi
sesuai fitrahnya. Ibarat stir mobil diposisikan di depan sebagai
pengontrol gerak mobil. Atau ibarat ban, diposisikan di bawah sebagai
penyokong dan pembawa badan mobil dari depan ke belakang. Berada pada
posisi yang pas dan tepat.

Sebenarnya wanita pun masih bisa berkarir di rumah. Membangun usaha
dan menjalani pekerjaan tanpa harus bercampur baur dengan lelaki dan
keluar rumah. Sungguh Allah meninggikan derajat manusia di zaman
Nabi, karena mereka taat pada ketetapanNya tanpa ada keraguan sedikit
pun dan sikap penolakan. Mereka paham Allah lebih tahu yang terbaik
bagi hamba-Nya dari pada diri mereka sendiri.

Dengan demikian menikah lebih utama bagi seorang wanita. Menunda
pernikahan karena mengejar karir, tidak selayaknya. Selain berpotensi
menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan menyalahi kodratnya.
Ingat! manusia tak akan pernah puas dengan apa yang didapat. Walau
sudah punya emas segunung uhud, pasti ingin tambah selembah uhud.
Akan kurang dan selalu kurang. Janganlah kita sampai terkena ancaman
hadits berikut : "Barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan
termasuk golonganku." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Hikmah di Balik Itu
Oleh karena itu mari berusaha kembali ke agama. Insya Allah semua
akan baik-baik saja, akan selalu ada jalan keluarnya. Menikah adalah
pengamalan separuh agama, di sana kita bisa lebih banyak mengumpulkan
pahala. Dengan menikah, fitrah manusia untuk menyalurkan syahwat
dengan halal pun bisa terpenuhi. Ibadah juga lebih tenang. Rasulullah
pernah bersabda : "Barang siapa menikah, maka dia telah memperoleh
separuh agamanya, karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam
memelihara yang separuhnya lagi." (Riwayat Al Hakim).

Berikut hikmah mempercepat pernikahan :
1. Menjaga kesucian farji (kemaluan) dan perzinaan serta menjaga
pandangan mata
2. Dapat melahirkan perasaan tenteram (sakinah), cinta (mawaddah),
dan kasih sayang (rahmah) dalam hati
3. Segera mendapat keturunan di mana anak akan menjadi Qurrata
a'yunin penyejuk mata, penyenang hati, karena usia yang baik untuk
melahirkan bagi wanita adalah 20-30 tahun, di atas umur itu akan
beresiko bagi ibu maupun bayi.
4. Memperbanyak umat Islam. Seperti yang dipesankan Rasulullah,
beliau akan membanggakan jumlah umatnya yang banyak nanti di akhirat.

Maka, janganlah tunda-tunda lagi pernikahan, ingat mengejar dunia tak
akan pernah ada habisnya.

Sumber : Nabila Edisi 5 Tahun 1

Tidak ada komentar: